“Manusia Yang Merdeka dari Hegemoni Lymbic Section”
Otak Kanan & Otak Kiri Yang Belum Merdeka
![otak simpanse otak simpanse](https://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/10/otak-simpanse.jpg?w=197&h=250)
Oleh sebab itu, perkembangan Otak Kanan tanpa pembersihan dari polusi lymbic hanya akan menghasilkan benda-benda kebutuhan insting dasar atau hewani, hanya saja dikemas secara lebih indah dan mewah (hedonisme) saja. Perkembangan otak kiri tanpa pembersihan dari polusi lymbic hanya akan menghasilkan pola hidup yang sangat material dan cenderung destruktif. Itulah
keadaan hidup manusia yang masih sangat primitif namun terkesan sebagai
manusia kesadaran spiritual tinggi, menjadi soleh dan suci.
Manunggaling “Manusia-Hewan”
Bila kita hidup semata-mata untuk memenuhi kebutuhan insting dasar saja, sesungguhnya kita masih menjadi binatang yang berevolusi kesadaran yang sangat lambat
alias masih menjadi binatang yang berkedok jasad manusia. Perbedaannya
terletak di mana binatang tidak bisa berpura-pura dan mengelabuhi
dirinya sendiri (munafik), sebaliknya manusia dengan perangkat mind
(otak sadar/pikiran/akal) mampu berpura-pura seolah bukanlah binatang.
Kepura-puraan (sikap munafik) ini berkat pendayagunaan OBKa yang
diperhalus OBKi, sehingga manusia lebih mampu memoles insting-insting
hewani menjadi lebih halus dan samar. Kita lebih pandai mengelabuhi
orang lain seolah telah menjadi insan kamil, manusia sejati, dengan kesadaran spiritual ultra tinggi (highest consciousness).
Maka banyak kita membaca berita di koran-koran seorang rohaniawan,
pemimpin, politisi, penegak hukum, intelektual melakukan pelecehan
seksual, korupsi, penggelapan, tindak kriminal lainnya dsb. Inilah wajah
manusia apabila OBKa dan OBKi masih dikuasai oleh sang lymbic.
Perkembangan diri manusia masih belum holistik, belum menyeluruh. Hewan
di dalam diri hanya menjadi sedikit lebih jinak, tetapi belum menjelma
menjadi manusia. Hanya segelintir saja di antara kita yang masih peduli
memanusiakan diri sendiri.
KENAPA HARUS ADA LYMBIC
Meskipun lymbic merupakan insting dasar hewani yang terdapat dalam tubuh manusia, bukan berarti lymbic harus dimusnahkan dari dalam diri manusia, lymbic hanya perlu dikendalikan dalam batas-batas yang wajar dan manusiawi agar bermanfaat sesuai fungsinya. Lymbic berfungsi sebagai alat untuk survival, menggerakkan kebutuhan biologis atau jasadiah untuk keperluan mempertahankan kehidupan di planet bumi. Lymbic juga diperlukan untuk reproduksi, proses kelangsungan hidup seluruh makhluk agar kehidupan di bumi tidak punah. Lymbic
mencerminkan kebutuhan dasar atau kebutuhan paling primitif makhluk
hidup. Sementara itu kehidupan manusia bukan saja untuk memenuhi
kebutuhan dasar, lebih dari itu adalah kebutuhan rohani, atau kebutuhan
jiwa, sukma atau kebutuhan roh. Kebutuhan insting dasar
dipahami sebagai batu loncatan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi (mulia) yakni kebutuhan jiwa atau roh tersebut. Kebutuhan dasar
selalu tumbuh berganti, berubah-ubah, dan tidak langgeng. Sementara
kebutuhan akan kemuliaan bersifat langgeng tan owah gingsir, yang azali abadi.
Adapun rumus-rumus dasar perubahan yang berlaku bagi kebutuhan dasar (insting dasar hewani) yang digerakkan oleh lymbic adalah sbb :
- Tumbuh, berkembang, lalu hancur.
- Pertama-tama lahir, hidup, lalu mati.
- Muncul keinginan, pemenuhan keinginan, kepuasan lalu semakin lama hilanglah kepuasan itu.
Demikianlah sifat dasar dari kebutuhan lymbic, tak ada yang kekal abadi, sebab lymbic
hanya mencakup dimensi jasad, atau dimensi bumi saja. Semua yang berada
dalam dimensi bumi akan terkena rumus bumi, ada/lahir,
tumbuh/berkembang lalu hancur/mati/sirna. Bumi merupakan mercapadha ; merca berarti panas atau rusak, padha
artinya papan atau tempat. Bumi seperti halnya jasad, merupakan tempat
di mana segala sesuatu akan mengalami kerusakan dan kehancuran.
Keberhasilan mengendalikan si lymbic,
akan membuat kita berhasil memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yakni
kebutuhan roh. Artinya, apabila kebutuhan jasad dapat dikendalikan
secara wajar justru kebutuhan sukma atau jiwa akan terpenuhi, berupa
ketenangan, ketentraman, kemuliaan dan kebahagiaan tertinggi
(audaimonistis). Dalam falsafah Jawa, proses pengendalian lymbic ini tercermin dalam pepeling yang tampak sederhana tetapi sudah menjadi bagian dari kearifan lokal : ngono yo ngono ning ojo ngono. Maksudnya agar manusia tidak melampaui batas kewajaran dari nilai-nilai kemanusiaannya, alias tidak “ber-evolusi mundur” atau set back kembali menjadi binatang berbalut raga manusia. Berbagai teknis meredam dan mengendalikan lymbic dengan olah rasa, mengoptimalkan rasa sejati/rasa pangrasa. Sehingga akan lahir menjadi manusia ber-evolusi pesat menjadi manusia linuwih, jalma kinacek, dengan kesadaran spiritual yang tinggi. Menjadi cirikhas orang-orang yang berhasil nuruti kareping rahsa. Bukan sebaliknya nuruti rahsaning karep.
TIPE PENGUASA LYMBIC
Apabila insting-insting hewani kita dibiarkan tumbuh berkembang dalam diri, lama-lama akan mengkooptasi dan menghegemoni alam pikiran bawah sadar, di mana tersimpan nilai-nilai dasar pandangan hidup, yang setiap saat mendasari cara pandang (mind set) dan dapat menjadi nara sumber “kebenaran” yang bersifat subyektif dan palsu. Alam pikiran bawah sadar sebagai stockpile, yang terisi oleh insting dasar hewani tersebut menentukan pola-pikir (mind set),
cara pandang, dan menuntun bagaimana harus bertindak. Celakanya, semua
itu diartikulasi atau dimanifestasi dalam perbuatan nyata, yakni berupa
perbuatan hewaniah. Kekuasaan lymbic tercermin dalam sikap ego
dalam diri yang sangat tinggi. Celakanya lagi ego yang melakukan
pencitraan harga diri terlalu tinggi membuat seseorang sangat mudah
tersinggung, gampang murka, selalu golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe.
Sebuah karakter yang sangat berbahaya, karena karakter muncul dari ego
yang sangat kuat, yang dapat menyiksa, menganiaya, menyakiti,
menghancurkan, dan memusnahkan segala hal yang tidak sesuai dengan ego-nya sementara kejahatannya itu sebagai bentuk kebenaran tak terbantahkan.
Lymbic, sepadan dengan Nafsu negatif. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra.
Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air samudra
yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara
(nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma
sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah,
(nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks
dari tugas roh, bila nafsu menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi
“tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan
(rahsaning karep). Hewan bertubuh manusia.
Lymbic bekerja membawahi akal
budi. Artinya seberapapun hebat kemampuan akal, secerdas dan sejenius
apapun otak manusia tetap saja berada di bawah kekuasaan lymbic. Dalam terminologi falsafah Jawa disebut latu murup ing telenging samudra. Latu atau bara api sebagai kiasan dari insting dasar (hawa nafsu). Sedangkan samudra sebagai kiasan dari jiwa yang suci.
Tipikal pemimpin yang dikuasai lymbic section atau pemimpin yang belum menjalani pengendalian lymbic dapat dilihat sebagai mana tercermin dalam beberapa karakter pemimpin di bawah ini;
- Kagetan, gumunan. Bersifat reaksioner.
- Ora kuat nyunggi drajat; begitu mendapat jabatan, mereka akan berubah sikap sangat drastis. Sok jaim, sok wibawa, sering salah tingkah, gagal menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
- Sumber kewibawaan bukan berasal keluhuran budi, kualitas kerja dan karya, melainkan keibawaan identik dengan menakutkan.
- Menjaga kehormatan diri dan kekuasaannya dengan cara intimidasi dan menebar ancaman.
- Hilangnya kharisma yang memancar dari dalam diri. Kharisma diganti dengan wajah angker nan galak. Seram dan menakutkan. Sikap yang bukan tegas namun tega dan sadis.
- Kepatuhan para staf dan rakyatnya hanya dikendalikan oleh rasa takut, bukan rasa welas asih dan terimakasih.
- Mengutamakan kepentingan kelompoknya; kelompok politik, golongan, ras, suku, agama, dan faham politiknya. Sikap anti toleran, pola pikir sektarian, primordial, rasistis.
- Lebih memilih penghancuran dan pemusnahan sebagai cara utama dan pertama yang ditempuh daripada pendekatan persuasif melalui penyadaran dan penginsyafan.
- Kekuasaan bukan dipandang sebagai sarana, tetapi sudah menjadi tujuan utama. Bila seseorang bercita-cita menegakkan keadilan dan ingin menciptakan kemakmuran untuk negeri dan rakyatnya, tetapi meraih kekuasaan melalui cara-cara kotor, menghalalkan segala cara, mau menangnya sendiri, itulah penguasa yang dikuasai lymbic.
- Power of law, berganti menjadi law of the power. Kekuasaan bukan lagi bersumber dari hukum atau konstitusi yang disepakati rakyat, sebaliknya kekuasaan disalahgunakan untuk merumuskan hukum yang melindungi kepentingan pribadinya.
- Pemimpin bukan dipahami sebagai pelayan rakyat. Sebaliknya pemimpin malah menuntut rakyatnya yang harus melayaninya.
Tipikal “pemimpin lymbic”, layaknya sindrom yang mengidap sebagian politisi kita saat ini. Di mana kemauan lebih berkiblat kepada nafsu jasad atau (nuruti rahsaning karep) yang bersumber dari lymbic section, ketimbang kebutuhan roh yang bersumber dari cahaya Ilahi (nuruti kareping rahsa).
WASPADAI DIRI SENDIRI
Lymbic mendorong seseorang untuk
memenuhi segala kebutuhan insting dasar hewani. Guna mewujudkan setiap
keinginan hewani bilamana ada kesempatan seseorang akan menghalalkan
segala cara demi mewujudkan insting primitifnya. Tindak “pelacuran otoritas” hingga pembunuhan, tindak kriminal seperti korupsi, mark up, penggelapan, perampasan hak orang lain, merupakan manifestasi dari dorongan lymbic atau insting primitif hewani.
Sementara itu akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan.
Akal-budi letaknya di dalam nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh
mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi; yakni
menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah).
Sehingga diumpamakan wong lumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Dalam wilayah ilmu tasawuf disebut juga akyan-maknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.
Nah, apabila lymbic dibiarkan
berkembang secara simultan pada gilirannya akan menghegemoni alam
pikiran bawah sadar dan setiap saat akan menjadi sumber pembenaran diri atau kebenaran subyektif.
Demikianlah proses terjadinya sosok manusia super egois, hinggga
mencapai titik paling ekstrim yakni timbulnya penyakit jiwa seperti
megalomania, egosentrisme, psikopat hingga kegilaan permanen. Psikopat
tidak selalu tindakan pembunuhan berantai seperti dalam film-film thriller. Psikopat bisa saja dengan mudah menyusup ke dalam perilaku golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benerew dewe.
Hal ini membentuk pola pikir atau mind set yang sempit, yang menganggap
diri paling bener. Lalu dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar
untuk menganiaya lahir atau batin orang-orang yang dibenci atau yang
berbeda pendapat dan keinginan dengan dirinya. Seorang psikopat mudah
menyakiti dan mencelakai orang lain demi pencapaian keinginan
pribadinya. Bahkan saking terbiasanya, ia dapat berbuat kejahatan kepada
siapapun yang dikehendakinya, sementara ia menikmati perbuatan jahatnya
itu. Bahkan dengan bangganya seorang psikopat mentertawakan
kesengsaraan orang lain yang menjadi korban kejahatannya. Itulah
gambaran jiwa psikopat, di mana hati nuraninya telah wafat. Kepuasannya
justru terpenuhi manakala ia dapat “menari di atas bangkai” para
korbannya. Lymbic yang benar-benar out of control amat
sangat berbahaya, lebih berbahaya lagi apabila jiwa-jiwa psikopat
disertai dengan kecerdasan otak yang relatif tinggi dengan dimilikinya
kekuasaan yang legitimate. Manusia akan berubah tidak hanya sekedar binatang, namun menjadi sosok monster
yang lengkap memiliki senjata pamungkas. Kenyataannya penyakit jiwa ini
banyak menghinggapi penduduk bumi nusantara di masa sekarang ini.
Manusia yang turun martabat dan habitatnya menjadi spesies purba dan
primitif namun juga sangat ganas. Benar-benar menjelma sebagai manusia homo-hominilupus,
alias binatang buas buat manusia lainnya. Apa jadinya bila sosok
demikian ini berkesempatan menjadi pemimpin umat di negeri ini ? Menjadi
sosok manusia yang mempunyai kesempatan dan kemampuan tinggi untuk
menghancurkan bumi. Otak bagian kanan tidak difungsikan
untuk menggapai kesadaran dan kecerdasan spiritualitas, sebaliknya
hanya berfungsi membangun perilaku munafik, sibuk memperhalus dan
menutupi kebuasannya. Selalu berkreasi untuk menjaga imej mulia
dan lembut di hadapan khalayak, sementara di dalam dirinya menyimpan
potensi besar insting hewani yang primitif yang siap menelan segala yang
ia inginkan.
HUBUNGAN KEKUASAAN LYMBIC DENGAN KERUSAKAN ALAM SEMESTA
Negeri ini sudah terlalu carut marut, semrawut, bagaikan benang kusut. Berbagai penyakit kejiwaan akibat dominasi kekuasaan lymbic telah menjangkiti seluruh sendi kehidupan negeri. Tindakan yang sangat mendesak untuk segera dilakukan, adalah ; jati
diri palsu bangsa ini harus segera dikoreksi dan diselamatkan dengan
cara menselaraskan antara keseimbangan mikrokosmos dengan keseimbangan
makrokosmos. Sebagaimana telah dikatakan oleh seorang filsuf Socrates pada 500 th
SM, serta terdapat dalam berbagai kitab suci, kita harus mengenali jati
diri terlebih dahulu, barulah kita akan mengenali Tuhan. Maka jati diri
bangsa ini harus digali dan dikenali lagi. Untuk sebuah gerakan
penyadaran jati diri bangsa, akan lebih efektif apabila dimulai oleh
para pemimpin dengan menjalani lakuning urip secara pas dan pener.
Biarpun kekacauan multidimensi negeri saat ini tampak sudah sangat
akut, namun hendaknya kita tetap optimis. Sebab masih ada satu celah
dengan cara menghayati nilai-nilai luhur kearifan lokal. Hal ini bukan
sekedar latah, karena nilai kearifan lokal adalah nilai yang merepresentasikan jati diri bangsa apa adanya, alamiah dan manusiawi. Dimulai dari diri kita masing-masing, kemudian meningkat dalam lingkup otoritas daerah, selanjutnya hingga ke pusat secara bottom up.
Tentu saja untuk sebuah misi mulia itu masing-masing pribadi harus
memerdekakan diri dari hegemoni insting primitif hewani terlebih dulu.
Sebab untuk menjadi pamomong bagi banyak orang seyogyanya kita lebih dulu harus sukses ngemong diri sendiri.
KENAPA HARUS DI MULAI DARI DIRI KITA PRIBADI ?
Karena kegelisahan, kegundahan, sifat mudah panik, kalut, ela-elu, anut grubyuk,
yang merambah dalam diri kita bukanlah disebabkan oleh orang lain atau
faktor eksternal. Namun disebabkan oleh mekanisme ketidakseimbangan (disharmoni)
dalam diri kita sendiri. Berawal dari terjadinya disharmoni, lalu
terjadi disintegritas jati diri kita yang menghasilkan hormon dan
adrenalin secara berlebihan. Kelebihan produksi hormon itu dapat
mengganggu kestabilan dan kesehatan jiwa raga alias stress dan depress. Terjadilah imbal balik, di mana stres dan depresi,
akan mengacaukan kesimbangam dalam diri yang berujung memperdalam
terjadinya disintegritas jati diri. Di saat inilah manusia turun drajat
menjadi binatang, jika tidak ya sepadan dengan manusia setengah gila.
Carut marut negeri ini berasal dari
keadaan mental diri kita sendiri. Mental generasi penerus bangsa yang
kehilangan jati dirinya. Tak kenal dan tak selaras lagi dengan karakter
lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Hilangnya jati diri
melahirkan tindakan-tindakan melawan kodrat alam. Hal itu meretas
kegelisahan dan kebingungan, kepanikan dan kebuntuan dalam mengambil
sikap hidup. Semuanya jadi serba salah kaprah & salah tingkah.
Banyak hal-hal esensial menjadi serba terbalik maknanya. Inilah yang
dimaksud dengan tanda-tanda wolak-waliking jaman seperti pernah diperingatkan oleh para pujangga masa lalu. Yang saat ini ternyata benar-benar terjadi.
Penebangan hutan secara liar, ekploitasi pertambangan alam yang tidak lagi peduli dengan kaidah alamiah dan manusiawiah, cut and fill
kontur tanah yang tidak memperhatikan hukum-hukum geografis dan
geologis, demi alasan pembangunan nasional sungai-sungai dirombak alur
dan irama alamnya menjadi irama nafsu lymbic. Lembah-lembah
hijau tempat serapan air dirubah menjadi resapan penghasil fulus dengan
ijin “ilegal” mendirikan bangunan rumah disekitar bantaran dan lembah
sungai. Mata air digusur, hutannya dibabat habis, gunung-gunung sebagai
tampungan air telah digempur diratakan. Akibat dari semua itu adalah
banjir, kekeringan, salah mongso, iklim yang kacau, suhu yang
berubah-ubah drastis, lempeng bumi terjadi rongga-rongga karena kadar
air semakin berkurang, lempeng bumi terjadi pelapukan dan pergeseran
lebih cepat. Akibat lebih lanjut adalah terjadi berbagai gempa bumi,
kekurangan air tanah, kelembaban udara menurun drastis, mengakibatkan
baksil dan bakteri berkembang biak, wabah penyakit dan hama tanaman
menjadi sangat variatif dan sulit diatasi.
Itulah gambaran dalam dimensi luas hubungan antara manusia (jagad alit) dengan lingkungan alam (jagad besar) yang tidak lagi selaras, seiring dan sejalan. Untuk itu para pemimpin perlu segera mengupayakan usaha-usaha pemerdekaan diri bagi generasi penerus bangsa dari penjajahan lymbic section. Kembali kepada jati diri bangsa, menggapai kesadaran tinggi (highest consciousness) yang tidak terjajah oleh lymbic, yakni kesadaran rahsa sejati.
Usaha itu harus diawali dengan membangun keseimbangan dalam diri kita
pribadi. Dimulai dari pribadi-pribadi peduli yang tinggal di “wilayah
TIMUR”. Sebagaimana terungkap dalam kitab kuno jongko-joyoboyo.
Dan di sinilah tempatnya yang tepat. Dimulai dari kota lumpur
Sidoarjo tempat di mana para putra Sang Fajar mulai menyingsing dari
ufuk timur. Njejegake soko guru bangsa, yang akan membuka jalan
bagi kembalinya kejayaan bumi nusantara. Dan para putra sang fajar itu
adalah Anda yang hadir di sini dalam pertemuan ini. Sebagai pemimpin,
apabila anda melakukan start lebih awal, anda bersama rakyat
akan lebih dulu meraih dan merasakan anugrah agung yakni, indahnya
kemuliaan, kehormatan dan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Yang
melibatkan kesejahteraan lahir dan batin. Namun anugrah agung itu
tentunya tidaklah GRATIS, karena masyarakat bersama para pemimpin di
wilayah Sidoarjo harus menebus anugrah agung dengan musibah dan
penderitaan panjang. Semakin tabah menjalaninya, semakin besar pula
“uang tebusan” yang anda kumpulkan. Berati semakin besar pula anugrah
yang akan diperoleh.
TIPIKAL NEGARAWAN SEJATI
Sementara itu gambaran kejiwaan negarawan
sejati, mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya memiliki
kesadaran theolgis, lebih dari itu memiliki kesadaran kosmik. Kesadaran
yang selaras dan seimbang antara jagad kecil (mikrokosmos) dan jagad besar (makrokosmos), keselarasan antara rakyat dengan pemimpinnya (manunggaling kawula kalawan gusti), dan keselarasan jiwa manusia dengan nilai ketuhanan (manunggaling kawula Gusti atau roroning atunggil/dwi
tunggal). Pencapaian keadaan itu dapat dirasakan sebagai suasana yang
tenang, damai, riang, bahagia. Saling memberi, saling menebarkan aura
kasih-sayang. Terpancarlah nilai-nilai kebaikan dalam setiap sendi-sendi
kehidupan. Kebaikan akan meretas kebaikan pula. Dalam diri pribadi,
keadaan positif ini memicu produksi hormon-hormon melatonin & endorfin,
yang bekerja untuk melipatgandakan ketenangan, ketrentaman dan
kebahagiaan. Begitulah seterusnya. Hiup menjadi lebih tenang, tidak
kelebihan hormon adrenalin yang akan membawa kepada sikap kagetan dan gumunan, raksioner dan frontal, gelisah, geram dan emosional.
Tipikal seorang negarawan sejati yakni merdeka dari pengaruh hegemoni lymbic. Saya sebut pula sebagai pemimpin yang nuruti kareping rahsa. Dalam terminologi falsafah Jawa disebut sebagai kodok kinemulan ing leng, atau wit ing sajroning wiji.
Jiwa yang tuntun oleh sukma-sejati/roh kudus/ruh al kuds, dibimbing
oleh rasa sejati/sirulah, disinari oleh cahyo sejati/nurullah, dan pada
akhirnya menjadi jiwa raga yang dihidupkan oleh atma sejati/chayyu/kayun
yakni energi yang menghidupkan. Mereka itulah adalah sosok negarawan sejati.
Pribadi yang tidak lagi terkooptasi oleh kelompok kepentingannya
sendiri. Tidak mewakili dan mengatasnamakan kepentingan dan warna
politik, golongan, dan kelompok tertentu. Negarawan mengatasi
kepentingan seluruh warga bangsa, atau mengutamakan kepentingan umum.
Perilaku dan perbuatan pribadi negarawan sejati tidaklah egois,
sebaliknya bersikap altruis mempersembahkan hidupnya untuk kesejahteraan
dan kemakmuran bangsanya di atas kepentingan-kepentingan lainnya
(berkah bagi alam/rahmatan lil alamin). Kursi kekuasaan bukan
menjadi tujuan, melainkan sebagai sarana atau alat menciptakan
kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan bersama. Biarpun tidak sedang
menduduki jabatan, seorang yang berjiwa negarawan sejati memiliki tabiat
perilaku yang konsisten. Arif dan bijaksana, mampu ngemong diri pribadi sebelum bertanggungjawab ngemong
orang banyak sehingga tak ada bedanya saat sebelum dan sesudah
menduduki tampuk kekuasaan. Kehidupan ini dijalani dengan sikap profan
apa adanya, tidak mengada-ada, antara solah atau perilaku badan dengan bawa atau perilaku batin tidak berbenturan satu sama lain (munafik). Selalu eling akan sangkan paraning dumadi, dan waspada atas segala hal yang dapat menjadi penghalang kemuliaan dirinya. Seorang negarawan sejati berani sugih tanpa bondo, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Menjalankan tanggungjawab kepemimpinannya dengan dasar rasa welas asih, welas tanpo alis, belas kasih kepada siapa saja tanpa pilih kasih, dan tanpa pamrih kecuali sebagai bentuk netepi titahing Gusti, mengikuti afngal
atau sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang tanpa pernah pilih
kasih !! Negarawan memanfaatkan kewenangannya sebagai alat atau sarana laku prihatin yakni dengan tapa ngrame. Laku tapa, tapaking hyang suksma. Menjadi pribadi kosmologis, perilakunya selaras, harmoni dan sinergi dengan kodrat alam. Kesadarannya bukan hanya kesadaran theologis dogmatis saja, namun sudah menggapai kesadaran kosmologis yang berada dalam wilayah kesadaran hakekat.
Pastilah berkah Tuhan akan selalu berlimpah ruah, sumrambah dateng tiyang kathah, mampu merubah segala musibah menjadi anugrah. Kalis ing rubeda, nir ing sambekala. Itulah konsep keadilan dan kemakmuran suatu negeri, akan datang bilamana pemimpinnya adalah sosok pribadi yang jumeneng satria pinandita sinisihan wahyu. Siapapun bisa melakukan asal memiliki kehendak (political will) dan bertekat bulat ibarat melakukan semedi di “alas ketangga” (keketeg ing hangga) yakni dengan tekat bulat meliputi jiwa dan raga.
Figur negarawan sejati, menjadikan
dirinya seperti medan magnet positif yang akan menebarkan dan menarik
segala hal yang positif, dan rumus ini berlaku pula sebaliknya. oleh
sebab itu tidaklah sulit bagi negarawan sejati, bila selama masa
kepemimpinannya akan menyebarkan benih-benih kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya. Menjadikan rakyatnya merasa benar-benar
menjadi tuan di istananya sendiri. Bagi negarawan sejati, apa yang
diucap akan terwujud (sabda pandita ratu), dan apa yang diucapkan segera terlaksana (idu geni).
Siapapun dapat menghayati dan membuktikan sendiri. Karena Negarawan
sejati bukan hanya monopoli seorang presiden, raja, atau perdana menteri
saja. Tetapi bisa dilakukan oleh siapapun orangnya ; gubernur, bupati,
camat, lurah, ketua RW/RT. Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin,
minimal menjadi pemimpin buat dirinya sendiri, dan keluarganya.
Kiranya tidaklah mengada-ada, apabila
telah diisyaratkan oleh para leluhur kita di masa lampau, bahwa negeri
ini akan mencapai kejayaannya kembali, menjadi negeri yang adil, makmur,
gemah ripah loh jinawi, hanya pada saat mana dipimpin oleh figur Ratu Adil. Berarti pula memiliki kiasan sebagai pribadi-pribadi yang gandrung keadilan dan sistem ekonomi-politik yang adil. Dan siapapun anda bisa menjadi figur ratu adil apabila anda memiliki kemauan sungguh-sungguh yang anda tetapkan mulai hari ini.
TEKNIK PENGENDALIAN LYMBIC
Kita harus melakukan berbagai usaha untuk meredam kekuasaan lymbic dalam diri kita. Banyak cara dapat ditempuh, misalnya dengan berolahraga dan berolah-batin, misalnya olah meditasi, semedi,
mesu budi, maladihening hingga tradisi jazirah dengan cara berzikir,
i’tikaf dsb. Semua tujuannya sama, menggali getaran nurani sebagai
terminal getaran energi Tuhan Yang Maha Menghidupkan. Energi yang hidup abadi
yang ada dalam diri kita. Lebih dekat dari urat leher. Itulah Tuhan
yang bersembunyi di dalam hati kita. Persoalannya adalah ; bagaimana
kita mampu untuk mengolah rasa menggapai kesadaran tinggi (highest consiousness) ?! Menjadi diri sejati, menjadi negarawan sejati, yang memiliki sipat kandel, winasis sebagai pribadi yang trewaca, waskita dan permana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar