Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuo. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika”
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :
1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
1. Pengertian
Metafisika
Metafisika (Bahasa Yunani: meta
(meta) = “setelah atau dibalik”, jusika
(phusika) = "hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat
yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika
mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa
yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah
itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah
keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam
ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk
merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku
metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada
buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]
Menurut
para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar
bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana
setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai
untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk
menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3]
Sedangkan
menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak
dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”
karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu
mungkin ataukah tidak.
Sekalipun
demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
Dengan
demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
2. Tafsiran
Metafisika
Manusia
memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme.
Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain
faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat
bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan
karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan
diketahui.[5]
Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut
hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau
disodok oleh tongkat bilyard.
Pengertian
Metafisika - Sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai
sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai
Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai
istilah ”metafisika” Aristoteles menyebut disiplin yang mengkaji hal-hal
yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (proto
philosophia)untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin
yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Istilah metafisika yang kita
kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang
artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh
Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang
disusun sesudah (meta) buku fisika. (Loren Bagus, Matafisika, (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm 18) Pengertian Metafisika Dalam Filsafat Menurut
Para Ahli
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
Metafisika
sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari
pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
Metafisika
sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna
dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering
disebut dengan theologia. (Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,
(Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.154)
Dari ketiga
keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya terdapat
dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada
sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian
Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi
dua disiplin ilmu yang berbeda. Seorang filosof Jerman bernama
Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada
sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat
dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah filsafat pertama
Aristoteles menjadi metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga
sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).
Metafisika umum
membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip
umum yang menata realitas, sedang metafisika khusus membahas penerapan
prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi
dan psikologi. Pemilahan Wollf tersebut didasarkan pada dapat tidaknya
dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama.
Metafisika umum (untuk seterusnya digunakan istilah ontologi) mengkaji
realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus
(metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah
itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan
(kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi). Kedua disiplin filsafat pada
dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena menurut Wollf
sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait
dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata
realitas inderawi. (Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), hlm. 6)
Terlepas dari
perbedaan mengenai istilah metafisika dan keengganan orang akan
metafisika, kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat.
Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam
pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heideggaer, setiap
telaah filosofis terdapat unsur metafisik. (Anton Bakker, Ontologi
Metafisika Umum: filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (
Yogyakarta: kanisius, 1992), hlm.15)
Metafisika,
berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam
semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi
mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang,
fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam.
Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh
semua wujud ini. (Rhomo Philipus Tule (ed.), kamus filsafat (Bandung:
Rosda, 1995 ), hlm.202-203)
Kajian tentang
metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi
dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu
berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat
universal, seperti istilahnya C.E.M joad, dalam bukunya A Critique of
logical positivism, yang dikutip oleh Harold Titus dkk. Sebagai
“penyelidikan tentang Tuhan”,(Harold Titus (dkk.), Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 362) bisa
juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang
transenden”. (C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko
(Yogyakarta: kanisius, 1988) , hlm. 64)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar