Minggu, 08 Juni 2014

Metafisika

metafisika dalam filasafat menurut para ahli

Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tetrtentu menjadi ada.
Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuo. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika”
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :
1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
1.      Pengertian Metafisika
Metafisika (Bahasa Yunani: meta (meta) = “setelah atau dibalik”, jusika (phusika) = "hal-hal di alam". Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3] 
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak.
Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi teori tentang realita.
2.      Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.[5] 
Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh tongkat bilyard.
 


Pengertian Metafisika - Sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah ”metafisika” Aristoteles menyebut disiplin yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (proto philosophia)untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika. (Loren Bagus, Matafisika, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm 18) Pengertian Metafisika Dalam Filsafat Menurut Para Ahli
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental  dan penyebab-penyebab pertama.
Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia. (Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.154) 

Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut,  sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang berbeda. Seorang filosof  Jerman bernama Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah filsafat pertama Aristoteles menjadi metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus). 

Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas, sedang metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan Wollf tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum (untuk seterusnya digunakan istilah ontologi) mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus  (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi). Kedua disiplin filsafat  pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena menurut Wollf sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi. (Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), hlm. 6)   

Terlepas dari perbedaan mengenai istilah  metafisika dan keengganan orang akan metafisika, kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heideggaer, setiap telaah filosofis terdapat unsur metafisik. (Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum: filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan ( Yogyakarta: kanisius, 1992), hlm.15)

Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini. (Rhomo Philipus Tule (ed.), kamus filsafat (Bandung: Rosda, 1995 ), hlm.202-203)

Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal, seperti istilahnya C.E.M joad, dalam bukunya  A Critique of logical positivism, yang dikutip oleh Harold Titus dkk. Sebagai “penyelidikan tentang Tuhan”,(Harold Titus (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 362)  bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”. (C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: kanisius, 1988) , hlm. 64)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar